Simak Kategory yuk..

Cerpen (1) Dakwah (1) KHILAFAH (4) Muslimah (3) Opini (5) Puisi (3) Remaja (1) Video (1)

Rabu, 15 Januari 2014

Sejumput Kisah Dibalik Hijabku

Masih jelas diingatanku suatu hari dimana langkah awal menuju jalan baru mulai kutorehkan dalam kisah perjalanan hidupku. Siang itu hawanya terasa membakar, debu bertebaran diiringi deru kendaraan bermotor saling bersahut-sahutan seolah menjerit kepanasan, keringat-keringat kian berjatuhan dari pori-pori kulit yang merasakan kelelahan, meski aku saat itu sedang berada dalam rumah tepatnya rumah guru Rohisku ka’ Yati, rasa panas masih terasa menyengat kulitku, tapi panas hawa yang kurasa saat ini tak seberapa dibandingkan dengan panasnya semangatku, semangat yang kian membara hingga terasa di setiap sel tubuhku,semangat untuk berubah, semangat untuk berIslam secara kaffah, semangat untuk meraih ridho Ilahi.Allahu Akbar
“Krrriiiit”, bunyi decit pintu mengiringi langkahku keluar dari pintu kamar kak Yati sementara itu diluar kamar ukhti-ukhti rekan sepengajian tengah menungguku. Ketika aku menampakkan diriku dengan seragam sekolah yang tengah kukenakan, sontak saja tawa membahana melihat sosokku yang mengenakan seragam sekolah. Bagaimana tidak, seragam sekolah yang baru saja dijahit oleh Endah salah seorang temanku, terlihat tidak biasa. Bukannya terkesan unik ini malah terkesan aneh. Rencananya seragam sekolahku akan disambung antara rok dan bajunya, setelah dijahit Endah seragam itu memang telah tersambung, tapi Endah menyambungkan roknya terlalu kebawah sehingga seragamku jadi terlihat aneh bin abnormal dengan penampakan rok kedodoran.
Kalau anak-anak gaul jaman sekarang memang biasanya dengan rela dan sengaja memakai rok sekolah di pinggul atau di bawah pinggul yang biasanya disebut ‘pinggang jatuh’, kalau memakai rok diatas itu misalkan memakai rok di atas pinggang, maka percayalah anak malang itu akan dicap kolot bin kampungan atau dicap jojon the next generation, hehehe. Tetapi penampakan seragamku kali ini lebih fantastis bukan ‘pinggang jatuh’ lagi namanya karena roknya sangat dibawah pinggang terlihat nyaris jatuh. Eeiits tapi hal ini bukan kulakukan untuk keren-kerenan atau karena menginkan predikat gaul loh. Hal itu kulakukan semata-mata demi merai ridhoNya. Karena aku menyadari standarisasi sebagai seorang muslim adalah sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an, Assunnah, ijma’ sahabat dan qiyas. Maka dari itu untuk mempertahankan idealismeku sebagai seorang muslimah akan ku kenakan hijabku sesuai syariatNya, tak perlu aku memelototi majalah fashion untuk menetukan cara berbusanaku atau menjiplak gaya busana ala barat yang minim kain, cukuplah ayat Al-Qur’an menjadi tuntunanku yang dengannya kurasakan kedamaian dan kemuliaan sebagai muslimah sejati.
Sebagaimana yang pernah diajarkan oleh guru ngajiku mengenai cara berpakaian seorang muslimah yang disyariatkan olehNya., guruku menjelaskan bahwa pakaian perempuan ketika berada di tempat umum itu ada dua, yaitu jilbab dan kerudung. Hal tersebut sesuai dengan dalil Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59.

“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”(T.Q.S An Nur: 31)
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(T.Q.S Al-ahzab: 59)
Aku tak tahu bahwa kerudung dan jilbab itu berbeda, sebelumnya aku menyangka jilbab sama dengan kerudung. Ternyata kerudung adalah kain penutup kepala sampai dada sementara jilbab adalah baju kurung, longgar, tidak transparan dan menutupi seluruh tubuh perempuan semisal baju gamis.
Lebih jauh lagi syeikh Taqiyuddin an-nabhani menyebutkan bahwa jilbab itu pakaian yang tidak terpotong sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) "mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Sehingga aku dan teman-temanku yang paham akan hal ini, melakukan hal yang nekat dan tak biasa yakni menyambung seragam sekolah. Aku meminta Endah untuk menjahit ulang seragam sekolahku yang tadinya kedodoran agar tampak lebih ‘normal’.
Akhirnya seragamku pun telah menjadi jilbab dan siap untuk kukenakan. Tapi tentu tak semudah itu, pertentangan akan selalu hadir menyertai langkah kebenaran. Ujian dan cobaan akan selalu menjadi batu yang membuat orang tersandung pada jalan kebenaran. Pertentangan pertama yang kuhadapi adalah dari orang yang paling kucintai dan orang yang paling dekat denganku, Ibu. Aku tahu bahwa wajar ketika ibuku tidak menyukai tingkah nekatku itu karena namanya juga ‘nekat’ ketika aku mengubah seragamku, aku sama sekali tidak mengantongi izin dari orang tuaku, tapi cukuplah Allah yang melegalisasi tingkahku ini, selain itu yang membuat ibuku tidak menyukainya karena jahitannya yang tidak karuan dan modelnya yang amburadul.
Aku akhirnya mulai mengenakannya untuk pergi ke sekolah namun jalanku tak semulus itu, ketika ibuku melihatku mengenakannya sontak saja aku mendapatkan ‘ceramah pagi’ dari ibuku. Kritikan demi kritikan dilontarkan oleh ibuku mulai dari model pakaianku yang aneh hingga mengatakan kepadaku untuk tidak ‘ekstrim’ dalam beragama. Dari banyaknya kata yang diucapkan oleh ibuku aku hanya merespon dengan mengatakan “ Tidak apa-apa Ma.”
Aku mempercepat langkahku menuju motorku. Aku menyadari hal itu merupakan bentuk perhatian dari ibuku namun tetap saja tiap kata yang dilontarkannya bagai hujan bom yang menghujam tepat mengenai hatiku. Bukannya aku ini anak yang hendak durhaka tapi kulakukan semua itu juga demi ibuku, inilah bentuk baktiku kepada ibuku, aku mencoba totalitas dalam melaksanakan syariatNya sebagaimana yang Dia perintahkan dan inilah bentuk totalitas cintaku kepada ibuku, karena dengan menaati perintah Allah maka kelak aku yakin aku akan dapat mempersembahkan kenikmatan abadi yang tiada tara, tempat dimana  kita akan merasakan keindahan penampakannya dan kedamaian suasananya, tempat dimana kita akan bertemu dan melihat wajah Sang Pencipta kita Allah SWT. Itulah surga yang insya Allah kelak aku bisa mengantarkan ibuku ke peraduan jannahNya. Aamiin.
Tidak di sekolah tidak di rumah, batu ujian akan senantiasa terhampar pada langkah kaki yang menyusuri jalan kebenaran. Belum lama memakai jilbab, salah seorang lelaki di kelasku bertanya
Seragammu kamu sambung, ya??”
Kujawab dengan anggukan bangga disertai senyuman lebar. Selang beberapa detik setelah memperhatikan seragamku dia akhirnya berkata
“ Itu seragam atau daster sih?” sambil diiringi tawa kecil
Aku hanya membalas sindirannya itu dengan senyum sejuta makna tanpa sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Kata-kata yang diucapnya tadi kini bergelayutan memenihi setiap dendrit dalam otakku, seandainya otak ini dapat dioperasikan layaknya komputer, maka kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi sudah berada di Recycle Bin.
Keesokan harinya ketika hendak berangkat ke sekolah, seperti biasa ibuku menampakkan ketidaksukaannya pada bajuku, hal itu begitu jelas tergambar dari raut wajah dan tiap lengkungan keriputnya, namun hal yang tak pernah kuduga sebelumnya adalah ketika ibuku terlihat begitu geram, wajahnya kian memerah dan memuntahkan kata-kata ancaman kepadaku, apabila aku masih memakai baju itu maka ibuku akan membuang bahkan membakarnya.
Kata itu bagai sengatan listrik 220 volt yang kini terasa mengalir di setiap pembuluh darahku. Dadaku terasa begitu sesak, hatiku terlanjur tersayat dan lidahku terasa kelu, aku hanya dapat berucap dalam hati “Insya Allah suatu saat ibu mengerti apa yang telah kulakukan ini”. Ketika aku sedang mengendarai motorku ke sekolah, tak terasa bulir-bulir air mata mengalir  membentuk sungai kecil di pipiku, ku coba menepisnya dengan seulas senyuman namun tak bisa kupungkiri bahwa hatiku tak henti-hentinya merintih. Tapi aku tak sendiri dalam menyusuri jalan perjuangan ini, ada dua orang sahabatku  Resky dan Endah yang juga merasakan genggaman bara Islam, yah sama sepertiku mereka juga kini telah berjilbab. Bersama mereka hatiku yang tadinya kurasa rapuh dan nyaris rubuh dapat terenovasi kembali, agar tetap istiqomah memenuhi hati dengan kalimatullah dan kerinduan terhadap surgaNya. Yah mereka ibarat motivator yang siap menyulut api semangatku, dan  mereka ibarat satpam yang senantiasa menjaga hatiku agar tidak disusupi oleh godaan setan, biarlah segala kesulitan yang kualami ini menjadi penebus atas dosa yang selama ini telah memenuhi buku catatan amal burukku. Lagi pula cobaan yang kualami ini bukanlah cobaan yang seberapa dibandingkan dengan saudara-saudara muslim di Palestina, Irak, Afganistan dan Suriah,ketika aku hanya harus menghadapi kata-kata yang kurasa berat, bagaimana mereka yang harus berhadapan dengan tank-tank raksasa, ketika sindiran terus menggema di telingaku dan aku merasa begitu sedih, bagaimana mereka yang tiap hari diiringi bunyi dentuman-dentuman bom yang siap mengenai mereka kapan saja, ketika aku merasa hidup ini berat betapa tidak bersyukurnya aku terhadap IradahNya, sungguh cobaan yang ku alami saat ini bukanlah apa-apa dibandingkan saudara-saudara ku di belahan bumi lain. Ya Allah kuatkanlah hamba-hambaMu agar tetap istiqomah pada jalan ketaqwaan ya Raab.
Setelah semangatku kembali dan aku kini full of energy, suara sumbang yang kerap kali memadamkan semangatku kini hadir kembali, ternyata sindiran yang tadi kudapatkan bukanlah sindiran terakhir, kali ini seorang lelaki di kelasku (bukan laki-laki yang tadi) berkomentar perihal pakaianku, dia berkata dengan sok bijak
“ Kalau kamu mau berpakaian sesuaikan dengan tempatnya”
Aku lantas menjawabnya dengan berkata
“Iya memang benar, bumi ini adalah bumi Allah jadi selama kita masih di bumi maka kita wajib menaati peraturannya begitu pula dalam hal berpakaian haruslah sesuai syariatNya”
Rasanya kata-kataku itu sanggup membungkam dan menjadi renungan bagi dirinya.
Hari-hari di sekolahpun akhirnya kulalui dengan tetap istiqomah berjilbab dan suara sumbang tetap setia membayangi iringan langkahku, namun suara sumbang itu tak semenyakitkan dulu, kini aku hanya menjadikan suara-suara itu sebagai bumbu-bumbu penyedap dalam mengarungi hidup ini. Mereka yang berperilaku seperti itu bukannya mereka bermaksud buruk namun hal itu mereka lakukan lantaran ketidaktahuan mereka, menyikapi dengan bijak hal tersebut lebih membuat hati terasa tentram, namun ada big problem yang tengah kuhadapi saat itu. Aku, Reski, dan Endah masing-masing memeras otak, befikir keras sambil mengernyitkan dahi, berharap menemukan cara jitu bagaimana caranya agar dapat berjilbab pada saat jam olahraga.
Sudah dua minggu berturut-turut kami memilih menghindar dari pelajaran olahraga dengan berbagai alasan, mulai dari sengaja berpuasa pada hari Rabu karena ada jam olah raga hingga lebih memilih tidak datang ke sekolah pada hari itu. Tapi tidak mungkin kami akan terus menerus melakukan hal itu selama 2 semester, maka satu-satunya cara adalah dengan meminta izin kepada guru olahragaku Pak Rukman agar kami diizinkan memakai jilbab. Hal itu sungguh gila mengingat belum ada satupun siswa di sekolah kami yang pernah melakukannya, belum lagi tampang garang Pak Rukman dengan kumis tebal dan tatapan tajamnya seolah siap menerkam kapan saja, banyangan tersebut sempat menyelinap dalam ingatanku dan berhasil menciutkan nyaliku untuk berhadapan dengannya. Bagaimana tidak, baru membayangkan wajahnya saja sudah sangguh membuat buluku bergedik ngeri. Tapi tak ada alternatif lain. Tidak mungkin kami terus-terusan lari dari masalah ini, kami harus menghadapinya bukankah tantangan itu ada untuk ditaklukkan?
Kami menamai rencana kami itu dengan nama ‘Penaklukan Konstantinopel’, semangat Al-Fatih seolah hadir membersamai perjuangan kami, jika Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dengan pedangnya maka kami akan menaklukkan ‘Konstantinopel’(Pak Rukman) dengan lisan. Sebagaimana Al-Fatih yang menyusun strategi sebelum penaklukkannya maka kamipun demikian, kami mencoba menyusun kata-kata seapik mungkin. Selain mempersiapkan kata-kata, kamipun  senantiasa mempertebal iman dan bertaqarrub kepada Allah karena sesungguhnya membolak-balikkan hati manusia bagi Allah merupakan perkara yang mudah.
15 oktober 2011, tak kusangka aku tengah berdiri di hadapan rumah hijau nan kokoh itu, rumah itu memang nampak biasa saja namun bagiku rumah itu lebih menakutkan dari rumah angker tak berpenghuni. Ya rumah itu adalah rumah Pak Rukman, meskipun persiapan kami menghadapinya begitu matang namun rasa takut kerap kali hadir membersamai langkah kaki kami. Tapi kami tak boleh menyerah, bukankah kokohnya tembok konstantinopel yang selama 11 abad berdiri bisa ditaklukkan, apalagi hanya meminta izin berjilbab, bukankah seharusnya lebih mudah, lagipula kami memiliki kekuatan dari Allah lantas apalagi alasan untuk menyerah?. Bismillah kamipun akhirnya berbicara dengan Pak Rukman. Selang beberapa menit akhirnya Pak Rukman memutuskan untuk mengizinkan kami berjilbab saat pelajaran olahraga meskipun awalnya jilbab dianggapnya bukan suatu kewajiban karena yang beliau ketahui tentang menutup aurat saja, tapi akhirnya dia mengizinkan kami.Ucapan syukurpun tak henti-hentinya membasahi bibirku. Terimakasih ya Allah atas inayahMu.
Mengenakan jilbab pada saat pelajaran olahraga tak lantas membuat kami terhalangi untuk bisa berolahraga, kami membuktikan hal itu. Bahkan ada kisah yang menarik pada saat pelajaran olahraga itu, kami harus mempraktekkan lompat tinggi, kami yang biasanya mengenakan jilbab seragam sekolah yang kemudian dilapisi dengan baju kaos olahraga tentu tidak akan mampu melompat tinggi karena bagian rok jilbab kami meskipun lebar tapi kainnya akan mudah sobek jika kami mempraktekkan hal tersebut. Maka kami meminjam jilbab kak Yati. Jilbab yang kami kenakanpun menjadi bahan tertawaan, pasalnya motif yang ada pada jilbab tersebut sungguh tidak nyambung dengan pakaian olahraga kami. Namun ketika praktek dimulai kami bisa menunjukkan yang terbaik, meski aku dan reski hanya mendapat nilai C tapi itu terbilang lumayan, karena banyak teman-teman perempuan kami yang mengenakan celana tetapi mereka tidak lulus praktek ini, sementara Endah mempu mendapat nilai A padahal di kelas kami hanya ada 3 siswi yang mampu mendapatkannya, sekali lagi hal tersebut membuktikan bahwa berjilbab tidak menghalangi kita dari berkarya bahkan berolahraga.
Pernah suatu ketika hal yang tak pernah sama sekali terlintas dalam benakku terjadi. Suatu hari ibuku yang makin kesal melihat tingkahku yang tetap ‘ngotot’ memakai jilbab sekolah, menyuruhku untuk pergi menjahit baju seragam baru yang disambung sambil memberiku sejumlah uang. Tanpa membuang waktu aku langsung melesat dan pergi ke tukang jahit. Pucuk-pucuk kebahagian kini tumbuh dalam relung hatiku setelah beberapa waktu merasa kerontang. Ya Raab lagi-lagi ucapan syukur membanjiri bibirku. Sungguh Allah Maha adil, setelah merasakan berbagai kesulitan diberiNya kebahagiaan. Ibuku yang sebelumnya tidak suka aku berjilbab justru akhirnya menjadi orang yang menyuruhku untuk menjahit jilbab baru. Aku teringat akan ayat penyejuk jiwa.“Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan” (Q.S Al-Insyirah:5). Yah inilah sejumput kisah dibalik hijabku, dibalik untaian kain yang kini menutupi tubuhku terukir kerasnya perjuangan untuk istiqomah mengenakannya. Perjuangan ini memang tidak mudah tapi ia bukanlah alasan untuk menyerah, karena tiap kesulitan yang mendera adalah jalan untuk menuju kenikmatan JannahNya.

1 komentar:

  1. Subhanallah, bagus kak :)semoga tetap istiqomah di jalan-Nya..

    BalasHapus