Simak Kategory yuk..

Cerpen (1) Dakwah (1) KHILAFAH (4) Muslimah (3) Opini (5) Puisi (3) Remaja (1) Video (1)

Minggu, 28 September 2014

Regenerasi ”Cabe-cabean” Jadi “Cobe-cobean”

Cabe kini telah menjadi komoditi yang sedang naik daun.  Hal ini bukan  karena harganya  tapi kini namanya melambung akibat istilah “cabe” yang kerap digunakan untuk menyebut cewek-cewek alay dibawah umur berperilaku nakal, liar dan identik dengan seks bebas. “Cabe-cabean” begitulah masyarakat kerap kali menyebutnya. Fenomena cabe-cabean tak bisa dianggap sebagai angin lalu, pasalnya efek pedasnya cabe akan berdampak pada masyarakat sekitar. “Cabe-cabeanpun” bak virus yang sangat cepat menyebar bahkan sampai ke kota daeng, meskipun hakikatnya cabe-cabean telah lama hadir di kota besar semacam Makassar namun istilah impor dari Jakarta tersebut juga telah membuming di kota Makassar.

Fakta “Cabe-cabean”
Aktivitas para “cabe” di kota Makassar juga cukup aktiv, hal tersebut nampak dari tingginya angka seks bebas kalangan remaja di  Kota Makassar sebagai kota metropolitan. Menurut disertasi Direktur Rumah Sakit Ibu Anak Siti Fatimah, dr Leo Prawirodihardjo yang melakukan penelitian ‘Perilaku Seks Bebas Remaja di Kota Makassar’,  dari hampir 4.000-an penderita AIDS di Sulsel, sekitar 3.134 penderita atau sekitar 80 persen berada di Kota Makassar. Bahkan Kota Makassar, disebut masuk peringkat tiga kota penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia, setelah Jayapura dan Jakarta.

Fakta tersebut tentu membuat kita mengurut dada, betapa tidak generasi-generasi yang harisnya menjadi pelopor kebangkitan negri,  kini telah berubah menjadi ‘sayuran’ artinya murah dan dapat dikonsumsi siapa saja.
Cabe-cabean tumbuh subur, salah siapa?
Banyak dari kalangan “cabe-cabean” tersebut merupakan korban para orang tua yang tak mampu menjalankan perannya secara maksimal. “Cabe-cabean” yang tak terdidik secara optimal oleh orang tua mereka akhirnya mencari kesenangan atau jati diri yang justru menjerumuskan mereka ke arah yang salah.
Selain orang tua, pendidikan saat ini juga tak mampu menjadi wadah bagi peserta didiknya untuk membentuk kepribadian yang dapat membangkitkan negri. Pendidikan saat ini fokus melihat para peserta didik dari nilai-nilai akademik, namun hanya sedikit pertimbangan pendidikan yang menitikberatkan pada moral ataupun kepribadian. Hal ini dapat dilihat dari stndarisasi kelulusan siswa hanya pada aspek perolehan nilai mata pelajaran bukan pada proses pengembangan kepribadian dan moral mereka.
Belum lagi, media yang saat ini dijadikan sebagai sumber pembelajaran juga bertanggung jawab atas munculnya makhluk-makhluk “cabe” ini. Media saat ini banyak menayangkan hal-hal yang tak selayaknya diperlihatkan. Betapa banyak kita melihat kulit wanita dijadikan sebagai komoditi pemulus suatu produk ataupun event-event tertentu .Akhirnya hal tersebut menjadikan generasi kita terbiasa dengan memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya bahkan kadang merasa risih untuk menutupinya padahal itulah yang membuat mereka mudah untuk mengalami gangguan atau pelecehan.
“Cabe-cabe” yang saat ini tengah menjalar tak juga dipangkas, hal tersebut karena aturan negara kita yang saat ini lemah dan tak mampu memberi solusi efektif mencabut “cabe-cabean” dari akarnya. Masalahnya, kebebasan dalam demokrasi saat ini dijadikan sebagai dewa pembuat hukum hingga mungkin saja menjadi “cabepun” merupakan HAM yang justru dijaga oleh negara. Jangankan untuk menyelesaikan persoalan ”cabe-cabean” untuk membahas tentang batasan pornografi dan pornoaksi sampai saat ini menjadi pembahasan alot yang belum ada titik temunya.
Banyak pula para remaja putri menjelma menjadi “cabe” kaena faktor ekonomi. Hedonitas yang menjalari faham mereka menjadikan  remaja-remaja yang meresa butuh dengan produk-produk mahal dan bermerk. Sehingga membuat mereka mencari cara instan agar dapat memenuhi hasrat tersebut, maka jadilah mereka bibit-bibit “cabe” selanjutnya karena profesi ini dinilai cukup menggiurkan.
Faktanya ada cabe-cabean yang ‘dijual’ di daerah kemayoran dipatok dengan harga fantastis bahkan mencapai 30 juta (Kompas.com)
Sayangnya negri zamrud katulistiwa ini kekayaan dikeruk  oleh negri-negri asing, atas nama demokrasi yang menjadikan legislasi manusia sebagai suatu aturan sehingga kekayaan alam tak lagi milik rakyat tetapi milik para korporasi.
Regenerasi “Cabe-cabean”
Pedasnya cabe saat ini sudah tidak menyehatkan bagi jasmani dapalagi rohani, maka saatnya kita peduli dan segera menyirami cabe-cabean ini dengan siraman ruhani. Peran sentral orang tua selayaknya menjadi faktor yang mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi-generasi cerdas mencerdaskan bukan malah menjadi generasi “pedas” yang “memedaskan”.  Karena anak-anak tak hanya butuh uang untuk menghidupi mereka tetapi kasih sayang dan pengarahan yang benar tentang kehidupan.
Begitupun masyarakat saat ini harusnya menjadi masyarakat yang bersama-sama memangkas habis “cebe-cabean” dengan menjadi masyarakat yang mengajak kepada kebaikan dan mencgah hal-hal buruk di tenganh-tengah mereka, bukan malah menjadi masyarakat individualis kemudian bekata ‘yang penting bukan saya atau anak saya’
Tak cukup masyarakat, negaralah yang punya peran dan pengaruh yang paling penting dalam hal ini. Karena dengan intervensi negara maka ia mampu mebuat media-media saat ini punya orientasi dalam edukasi bukan malah menjadi sarana yang menghantarkan remaja-remaja menjadi pemuja-pemuja syahwat.
Negara jugalah lewat wewenangnya dalam pengaturan ekonomi akan mampu membasmi “cabe-cabean”. Dengan ekonomi yang kuat negara mampu menjadikan masyarakatnya sejahtera sehingga remaja-remaja putri tak tergiur lagi menjadi “cabe-cabean”.  Untuk menciptakan ekenomi yang kuat tentu dibutuhka peran negara yang mampu mempertahankan dan mengolah sendri SDAnya. Hanya sistem ekonomi Islam yang punya konsep pengelompokan harta kepemilikan, misalkan SDA merupakan harta milik umum sehingga tak boleh dikelola oleh individu maupun perusahaan. Negara menjadi pengolah yang akan mendistribusikan harta tersebut kepada masyarakat, baik dalam bentuk mentah ataupun mengalokasikannya untuk pendidikan dan kesehatan.
“Cabe-cabean” yang terlanjrur membanjiri lingkungan sekitar tentu dapat kita basmi dengan uluran dan usaha kita bersama. Inilah saatnya kita meregenerasi “cabe-cabean”.
Ide regenerasi cebe-cabean menjadi cobe-cobean, berawal dari filosofi cobe-cobe yang merupakan istilah masyarakat Sulsel menyebut cabe yang telah ditumbuk kemudian diolah dengan penambahan bahan-bahan lain sehingga menjadi sambel siap santap.
Begitupula dengan “Cabe” (Cewek Alay Bisa Ehem) yang saat ini menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat hendaknya kita mampu bersama-sama berkontribusi untuk menjadikannya “Cobe” (Cewek sOleha Bisa Exis) yang bermanfaat.
Tentunya hal tersebut dapat terealisasi bila masyarakat dan pemerintah sekitar sadar bahwa “Cabe” butuh regenerasi menjadi “Cobe”.                                                                                                                                                                                                                                                      

1 komentar: