Simak Kategory yuk..

Cerpen (1) Dakwah (1) KHILAFAH (4) Muslimah (3) Opini (5) Puisi (3) Remaja (1) Video (1)

Jumat, 29 Maret 2013

Hamparan Sajadah Hijau

                Cucuran butiran keringat mulai menjalari sekujur tubuhku dalam setiap gayuhan sepedaku. Jalan setapak yang sempit dan berbatu tidak membuat laju sepedaku melambat, aku terus mengayuh & mengayuh hingga terlihat bagai orang kesetanan, bagaimana tidak, jalanan setapak itu habis kugilas dengan roda sepedaku, maklum jalan itu hampir tiap hari ku lalui, sehingga tiap pijakan, tiap bebatuan, dan tiap tikungan telah tertanam kuat dalam benakku.
                Aku mengayuh dan terus mengayuh hingga genangan becek di depanku memaksaku agar menghentikan laju sepedaku yang kecepatannya sudah tak terhitung oleh speedmeter, “Srroot” terlambat, sebelum aku menarik rem , sepedaku telah melintasi becek itu hingga percikannya kini menempel pada rok dan sepatu sekolahku. “huuh” gerutuku dalam hati , sambil menghentikan sepedaku dan menyapu-nyapu kecil percikan yang tertempel pada rokku, stelah itu ku lihat jam yang melingkar pada pergelangan tanganku
‘Oh No’ kataku sambil menepuk dahi
 jarum pada jamku kini menunjukkan pukul 07.14, itu berarti semenit lagi pagar sekolahku akan tertutup 
Tak ayal jalan setapak  kembali ku gilas dengan menggila. Akhirnya sekolahkupun kian terliahat, lega rasanya setalah bergelut dengan jalan setapak yang bagai tak berujung akhirnya sampailah aku pada tempat tujuanku, tetapi oh tidak pagar sekolahku mulai menutup dan kian waktu kian hanya menyisakan celah kecil untukku, tak kusia-siakan celah sekecil apapun untuk kujejali dengan sepedaku. Ku gayuh sepedaku dengan kecepatan super maximum ,ku gayuh dan terus ku gayuh, lagi-lagi cucuran keringat menemani setiap gayuhanku, kian kugayuh celah itu kian kugapai tetapi celah itupun kian menutup disaat aku hampir menbusnya, karena tak mau kalah ku tambah kecepatanku dari super maximum menjadi very super maximum, sehingga akhirnya celah itupun dapat  kutaklukkan. Karena saking cepatnya, sepedaku tak dapat kukendalikan aku mencoba menarik remnya, namun sialnya rem sepaduku blong maklum rem blong adalah penyakit menahun yang diderita sepada rongsokanku, akhirnya aku memasuki halaman sekolahku dengan sepeda yang seolah kesetanan,kini di depanku pohon beringin tua menunggu untuk ditabrak dengan pasrahnya, menyadari bahaya itu cepat-cepat kubanting stir sepedaku kea rah kanan
“huh hampir saja” kataku sambil berbalik kerah pohon yang kini berada dibelakangku. Tiba-tiba, “BRRUUUK “
‘Ooouuuchh’ tabrakan itu membuat kepalaku pusing. Aku mencoba melihat apa yang sebenarnya ku tabrak tadi, dan dalam pandangan mata yang agak kabur aku dapat melihat sesosok pria bertampang garang, berkumis tebal dan berkulit hitam namun itu hanya berupa bayangan belum jelas sosok yang sebenarnya, apakh ia seorang perampok?hmm sepertinya bukan, atau seorang pencuri? Kelihatannya kurang tepat, mungkin seorang perompak? Aku mengada-ngada saja, mana ada perompak di darat adanyakan di laut,atau  jangan ia adalah monster?hampir tepat sih karena tampangnya rada mirip hehehe, sayangnya tak ada monster di dunia ini. Kuputuskan untuk mengucek mataku agar sosok itu makin jelas terlihat, ku ‘search’ wajah orang-orang yang kukenal dan ‘aha’ I’ve got it,,, BUT..oh god! Please jangan sampai dia. Karena tak percaya sosok itu adalah dia, aku kembali mengucek mataku, sosok itu kian jelas terlihat dan itu benar-benar dia,kutelan air liurku yang nyangkut ditenggorokanku, tiba-tiba hawa pagi ini kian mendung serasa petir sesekali menyambar disekitarku, burung-burung yang sedari tadi riang melantunkan nyanyian kini menjadi bungkam tak bersuara (mungkin kesellek? Hehe)
Keringat yang sedari tadi bercucuran, kini kembali bercucuran membasahi setiap celah pori-pori tubuhku. Bagaimana tidak, setelah mensearch, menelaah dan menimbang, akhirnya aku tahu, sosok yang saat ini mengerutkan dahinya karena kesakitan adalah pak Sukiman, dia adalah satpam disekolahku, orang dengan tampang yang kriminil, dengan suaranya yang garang dan sedikit parau menambah perawakan menyeramkan (gak salahkan kalau aku bilang beda tipis dengan monster hahaha…). Tiba-tiba sosok yang sedari tadi terkapar di atas tanah kini mencoba untuk berdiri. Dag dig dug jantungku berdegub tak karuan tanpa nada yang terarah, aku berfikir keras agar bisa lolos dari terkaman mautnya. Oh god! Aku buntu.
“Mati aku” bisikku menepuk dahiku, sosok itu persis di depanku, matanya kian melotot dan wajahnya memerah. Ia benar-benar marah  seolah siap melahapku  dalam terkamannya
“Elviiii, elvii kamu itu sudah bapak peringatkan berkali kali jangan terlambat ke sekolah, masih saja kamu langgar…”
“tapi kan aku tidak terlambat pak hanya saja hampir terlambat” kataku memotong pembicaraan Pak Sakiman
“Lha, gara-gara kamu hampir terlambat makanya kamu tadi naik sepeda kayak orang kesetanankan? Kamu ini sudah salah terlambat, nabrak lagi”
kata Pak Sakiman  dengan geram dan mata yang melotot kembali menjurus kearahku tatapan matanya menandakan rasa malu dan marahnya yang melebur dalam emosinya, bagaimana tidak, karena tragedy tabrakan tadi Pak Sakiman dan aku seolah jadi pemeran utama dalam sandiwara sekolah ini karena kami berhasil menyedot perhatian seisi sekolah maklum kejadian tadi perdana terjadi di sekolah. Bukannya mengelak dan menyerah aku malah membalas kata-kata Pak Sakiman
“Coba pagar tadi gak usah ditutup pak, pasti saya santai saja masuk sekolah makanya sekolah ini lebih bagus lagi kalau peraturan tutup pagar jam 07.15 direvisi kembali”
perkataan ku itu sontak mendapat sambutan hangat dan tepukan meriah dari siswa-siswi yang sedari tadi menyaksikan aku dan Pak Sakiman, namun perkataanku membawa petaka bagiku karena Pak Sakiman makin memuncak emosinya
“kamu ini, alsan saja, coba kamu lebih cepat datang dari rumahmu pasti kamu tidak akan terlambat, banyak juga siswa-siswi sekolah ini yang datang tepat waktu” Kata pak Sakiman dengan senyuman kemenangannya, perkataannya itu merupakan tamparan untukku karena aku telah di skak mat olehnya
“Nah sekarang kamu tahukan harus kemana?” Katanya lagi-lagi dengan senyuman bangga yang menghujam hatiku
“iya pak” Jawabku dengan singkat dan lesu
Akhirnya kulangkahkan kakiku ke pintu masa depan kelamku, pintu WC sekolah. Hanya beberapa meter dari pintu WC itu, baunya sudah menyengat tercium
“hhoouuek” ucapku sambil mengipas-ngipaskan tangan di depan hindugnku
Aku terus berjalan hingga aku sampai di depan pintu WC itu, kemudian membuka pintu itu dan mulai membersihkannya, huuh lelahnya.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang kelas tempatku mencoba mengais seberkas ilmu di dalamnya, mengukirkan kisah cerita bersama teman-temanku dan menorehkan lembaran-lembaran memori yang tak akan terlupakan.

***
Tiiinnnnnnngggggg….tiiiiiiiiiiiiinnnnggg…..tiiiiiiiiiiiiiinnnng………….
Suara bel menggema mengawali sorakan hiruk pikuk siswa-siswi SMA di sekolahku, aku dan 3 sahabatku Cica, Ega dan Fadila berjalan ke tempat parkir  mengambil sepeda-sepeda kami untuk mengendarainya pulang ke rumah.
Tak seperti caraku mengendarai sepedaku pagi tadi, kali ini aku menikmati tiap gayuhan sepedaku merasakan debu-debu siang yang beterbangan di sekelilingku meskipun terik matahari siang ini menyengat hingga tiap pori-pori tubuhku namun aku tetap menikmati perjalananku,menikmati bau pedesaan yang khas, menikmati keramahan dan senyuman orang-orang sekampungku yang ku temui, dan tentunya menikmati indahnya panorama pedesaan yang sulit ditemukan oleh orang-orang kota.
Aku tinggal di desa saumangannya, kecematan pagai utara yang terdapat di pulau Mentawai provinsi Sumatera barat. Pulau dengan citra eksotika yang tinggi. Mataku seolah dimanjakan oleh hamparan hijau berhektar-hektar sawah, tiap helai padi yang tertiup angin melambai-lambai bagai ombak dilautan, awan-awan tak kalah ramahnya seolah menampakkan senyum cerianya, tak berapa jauh dari sawah terdapat genangan sungai yang siang ini dipenuhi oleh teriakan ceria anak-anak yang menceburkan dirinya di dalamnya mencoba menyegarkan badan di cuaca terik ini. Melihat kami melintasi sungai itu anak-anak itu tak tinggal diam, mereka dengan bandelnya menyirami kami dengan percikan-percikan air sungai, kami hanya tertawa akan ulah iseng mereka begitupun dengan mereka tertawa lepas bahagia. Pohon-pohon rindang dipinggir jalan membendung cahaya terik matahari ketika kami berada di bawah naungannya, pohon-pohon dengan batang besar dan kokoh itu turut menorehkan keindaha mentawai. Sungguh itu semua adalah Maha karya Allah SWT yang tak tertandingi nilai makna dan eksotika keindahannya. Perjalanan pulangku tak hanya dipenuni keindahan alam namun juga diselingi gelak tawa kami.
“Assalamualaikum” ucapku
“Waalaikumsalam”sahut kedua orang tuaku yang sedang berada di teras rumah, mereka manyambutku dengan seulas senyuman penuh makna dan tatapan kebahagiaan yang terpancar meski tanpa kata-kata.Aku seolah ingin agar waktu ini tak berjalan, berhenti pada detik ini menikmati senyuman kedua orang yang sangt kusayangi selamanya.
***
Pagi yang tenang seperti biasa, hari ini hari minggu, sehingga aku tak perlu terburu-buru mengayuh spedaku ataupun bergulat dengan pak Sakiman. Waktu dipagi yang cerah ini akan kuhabiskan untuk melaksanakan  tugasku menyiram bunga dihalaman rumahku.
Tiba-tiba tanah bergoyang dan berguncang semakin berguncang lebih keras, kepanikanpun semakin terlihat akan teriakan histeris sebagian warga, sebagian warga juga berlarian tak karuan, binatng-binatang ternak juga turut panik menghadapi guncangan dahsyat ini. Aku tak tahu harus berbuat apa dikala aku digelayuti kepanikan darah diotakku seolah membeku membuat fikiranku buntu, tak sadar akupun lari tak karuan tak punya arah tujuan, guncangan yang semakin dahsyat membuat beberapa pohon kini tumbang, aku hanya dapat berlari dan terus berlari menghindari tumbangan pohon yang bisa jadi mengenaiku, dikala aku berlari guncangan susulan datang kembali kali ini lebih dahsyat lagi dari sebelumnya sehingga langkahku terhenti keringat dingin membasahi sekujur tubuhku, aku kini hanya bisa jongkok ditempatku yang berada tepat di depan mesjid,sementara itu bangun yang tak jauh dari tempatku jongkok sedikit demi sedikit rubuh akibat guncangan tadi, tak pelak teriakan yang sedari tadi bergema kini kian menggema memenuhi langit pagi ini, aku hanya bisa terbelalak melihat kehancuran demi kehancuran mendera desaku, tak sadar sebuah pohon di dekatku mengeluarkan bunyi retak-retak dan ternyata akan tumbang mengenai diriku, jantungku berdegub sangat cepat seolah jantungku akan keluar dari tubuhku,dalam kondisi terpojok aku hanya bisa berkata dalam hati “Ya Allah, lindungilah aku”, tiba-tiba seorang warga menarik lenganku dan berlari membawaku masuk ke dalam mesjid untuk berlindung kami berlindung di bawah meja kecil yang ada di dalam mesjid. Tak beberapa lama kemudian guncangan itu akhirnya berhenti juga. Mataku hanya dapat terbelalak, otak ku belum stabil sepenuhnya, buliran keringat dingin yang bercucuran membasahi bajuku, perasanku saat ini campur aduk aku takut, gelisah, dan sedih, tak terasa tetsan air dari mataku meluncur membasahi pipi mungilku, rasanya anak seusiaku belum sanggup menerima beban seberat ini, kepalaku tersa pusing dan fisikku kian melemah akhirnya aku memilih baring untuk beristirahat sejenak.
***
Dua hari telah berlalu semenjak peristiwa itu, kini aku dan beberapa orang warga tinggal di mesjid dan makan seadanya. Aku senang 3 sahabatku selamat dari bencana ini, namun hal yang paling mengganggu fikiranku adalah tentang keberadaan orang tuaku yang tak tahu entah berada dimana sekarang ini. Setiap aku memikirkan mereka buliran air dari mataku selalu hadir membasahi pipiku
“Elvi kesini sebentar” kata pak karim salah seorang warga
“Ada apa pak?”tanyaku
“Ikut saya sebentar”katanya
Aku mengikuti langkah kaki pak Karim, yang aku lihat dari sikapnya pak karim seolah sedang menyembunyikan sesuatu sehingga aku bertanya
“Ada apa pak?dan kita mau kemana?”
Dia tidak menjawab dan tak berani melihat wajahku, ia hanya terus melangkah dan aku tetap mengikutinya. Hingga dia berhenti di sebuah puing-puing rumah
“Buka itu”katanya sambil menunjuk sebuah benda yang tertutupi kain
Aku melangkah kemudian membuka kain yang menutupi benda itu.
“Astaga” kataku
Aku mundur beberapa centimeter sambil menggeleng-gelengkan kepalaku, hati teriris oleh serpihan memori manis,dadaku sesak dipenuhi kenangan masa lalu, tetesan air dari mataku kini membanjiri pipiku
“Aaaaaaaaaaa”
Aku berteriak bagai orang kesetanan menangis meraung-raung
“Ayaaaahh”
Aku berteriak memanggil mayat yang kini terkapar di depanku. Aku berfikir Tuhan sungguh tidak adil mengambil kebahagiaan dalam hidupku, mengambil sesuatu yang berharga dalam hidupku,apa sebenarnya salahku?

***
3 hari telah berlalu sejak pemakaman ayahku, aku dan beberapa warga masih tetap saja tinggal di mesjid dan bergantung pada makanan yang kami terima dari donatur, namun sayang persediaan makanan kian menipis kami tak tahu harus makan apa 3 hari ke depan. Tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa ada seorang donatur bule yang ingin membagikan sembako kepada kami, sehingga kamipun berbondong-bondong mendatangi donatur tersebut, namun ada yang tak biasa dengan donatur yang satu ini, ia tak langsung membagikan makanan kepada kami, melainkan ia naik diatas sebuah balok kayu yang agak besar. Ternyata ia membacakan kami bibel dan mencoba mendoktrin kami agar masuk ke dalam ajarannya tak hanya itu ia memberikan kitab injil,brosur dan komik, barulah kemudian ia akan memberikan kami sembako, pilihan yang dilematis memang antara kebutuhan perut dan keyakinan beragama. Aku tahu aku dan warga sekitar sangat membutuhkan makanan untuk persediaan mendatang namun bukan berarti kami begitu saja menggadaikan Aqidah kami dengan begitu saja membenarkan sikap donatur yang satu ini.
Akhirnya aku memutuskan bahwa Aqidahku tidak seharga dengan bungkus mie instan, aku tetap mempertahankannya meskipun banyak juga warga yang terperdaya akan bujukan donatur bule tersebut. Meskipun aku bukanlah orang yang agamis namun aku percaya bahwa ketika kita melakukan suatu kebaikan maka Allah akan memberikan kita kemudahan dalam menjalaninya.
***
Yang bisa kulakukan untuk saat ini hanyalah memanjatkan doa agar kiranya Allah menurunkan rezkinya kepada kami hamba-hambanya yang tetap istiqomah menempuh jalan-Nya, persediaan kini hanya cukup untuk besok saja, entah apa yang akan kami makan 2 hari ke depan. Kutengadahkan wajahku ke langit sembari berzikir megingatNya, kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak desaku, ku berhenti di bawah pohon tua yang masih utuh dan tercengang melihat berhektar-hektar sawah yang dulu terhampar hijau beraturan kini berubah menjadi hamparan tanaman-tanam liar yang tumbuh diantara retakan-retakan tanah. Aku duduk dibawah naungan rindang pohon itu mengingat kembali simpul-simpul kenangan yang terbentuk sbelum bencana ini datang, mengingat kembali uraian-iraian cerita,mengingat kembali rajutan cinta kasih yang diberikan untuk menghangatkan hari-hariku. Buliran-buliran air mata untuk kesekalian kalinya membasahi pori-pori pada  pipi kusamku. Aku tak sanggup menahannya ketika memoar masa lalu menunjukkan sosok lembut yang sangat ku sayangi ayah ibuku, ayahku yang telah pergi kini berada di alam lain sementara ibuku tak bisa kuterawang apakah ia masih ada atau telah bersama ayah meninggalkanku, ya Allah ya Rab.
Alhamdulillah doa-doa kami akhirnya dijabah disaat persediaan kian kritis datanglah beberapa orang donatur dari jawa yang memberikan kami makanan,minuman,obat-obatan, pakaian,dan mainan untuk anak-anak. Tak hanya itu para donatur itu memberikan kami siraman rohani yang membuat ruh-ruh kami yang sakit kian membaik keadaannya, dan juga para donatur itu memberikan games kepada anak-anak yang terkena bencana sehingga setelah sekian lama tawa mereka terkunci oleh kemuraman akhirnya terbuka  dengan keceriaan dan kegembiraan. Aku terharu melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata bening mereka.
***
Aku termenung mengingat, menelaah dan mengkaji kembali kata-kata dari mbak Mega yakni donatur yang kemarin  baru saja memberikan siraman rohani kepadaku dan beberapa orang warga
“Dalam Al-qur’an surah Ar-rum Allah SWt mnejelaskan bahwa kerusakan di muka bumi ini adalah akibat dari ulah tangan manusia itu sendiri, nah kita sebagai manusia jangan langsung mentang-mentang menjudge Allah SWT bahwa Allahlah yang bersalah atas hal ini, manusianya yang tidak taat kepada Allah, manusia bersikap sombong dan manusia bersikap musyrik sehingga Allah menurunkan bencananya, apalagi hukum-hukum Allah hari ini tidak diterapkan secara kaffah, padahal dalam Al-qur’an hukum sholat sama wajibnya dengan hukum rajam bagi para pezina, tapi hari ini hukum Allah hanya diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian,lantas bagaiman Allah tidak murka?. Dan lagi kita sebagai manusia kadang kala tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kita, saya tahu kita yang berada disini pastinya merasa kurang beruntung karena bencana yang mendera, tapi coba kita renungkan bagaiman kiranya keadaan saudara saudari kita di palestina sana? Mereka memang tidak dikenai bencana alam, namun mereka di sana sedang bertarung nyawa, melihat ibu,bapak anak-anak mereka dibantai di depan mereka, melihat istri mereka diperkosa di depan mereka, masihkah kita merasa kita orang yang paling menderita?, sementara dibelahan dunia sana masih banyak saudara-saudari kita yang lebih menderita dari pada kita, mereka kelaparan, kekurangan dan gelisah.”
Perkataannya itu membuat hatiku merasa sedikit tenang, aku merasa sedikit lebih beruntung dari pada mereka-meraka di belahan bumi sana.
“Maafkan aku ya Rab” Bisikku
Aku menyalahkan Allah SWT atas segala ini tanpa melihat kesalahan dan kekacauan yang aku perbuat, aku sungguh tak tahu bersyukur padahal rezki Allah telah diberikan sangat banyak untukku. Air yang sedari tadi ditahan kelopak mataku kini tumpah ruah tak terbendung.
Aku juga ingat kata-kata mbak mega yang menggugah hatiku ini
“Dalam Qur’an surah Al-insyirah Allah memberikan kabar bahwa sesungguhnya sesudah kesedihan ada kegembiraan. Hidup ini bagai roda yang terus berputar ketika kesedihan menerpa yakinlah bahwa secercah harapan kebahagian itu akan kembali menari-nari di atas kita, ketika kesulitan datang menghadang, yakinlah kemudahan itu akan hadir menghangcurkan tembok kesulitan yang menghadang itu, saya ingat kata Dr. Aidh Al-qarni ‘kasih sayang Allah pasti datangnya meski ia terasa nun jauh di sana, ia akan tiba laksana kerdipan mata bila sudah saatnya”
Kata-kata mbak Mega itu mengembalikan semangatku untuk tetap melanjutkan hidup ini dengan penuh kesyukuran.
                                                                                                ***
Dalam keheningan dan dinginnya malam, kutengadahkan kedua tanganku keatas setalah aku bersimpuh dalam tahajjud.
“Ya Allah, ya Raab, hambamu yang dhoif ini memohon ampun atas segala dosa dan salah yang hamba perbuat. Ya Allah,ya Rahman sungguh hati ini penuh titik-titik hitam akibat kemaksiatan yang selama ini hamba perbuat, sungguh buku catatan amal hamba dipenuhi oleh catatan amal buruk. Ya Allah, selama ini aku mempertontonkan auratku tanpa merasa bersalah, selama ini aku juga telah banyak menceritakan aib saudara hamba, selama ini hamba hanya sibuk memikirkan diri hamba tanpa pernah memikirkan nasib saudara hamba di belahan bumu lain, selama ini pula hamba malas untuk mengkaji agama Islam, ya Raab sungguh telah banyak kelalaian yang hamba lakukan,padahal Engkau telah memberiku kesempatan. Ya Rahman dengan kasihMu Engkau masih memberikan hidup padaku, Engkau masih memberikan Rezki kepadaku dan Engkau masih memberi kesehatan kepadaku, betapa aku tidak bersyukur atas segala nikmat yang Engkau berikan, maafkan aku ya Allah atas murkaku terhadap IradahMu, padahal bencana ini Engkau timpakan sebagai teguran atas dosa-dosa kami. Ya Allah kuatkan hamba atas segala ujian yang Engkau timpakan, kukuhkan hamba terhadap jalan kebenaran dan jangan biarkan hamba tergoda tas bujuk rayu setan. Ya Malik, ampuni pula segala kesalahan dan dosa kedua orang tua hamba, sayngilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku diwaktu kecil. Ya Salam Engkau telah memanggil Ayahku menghadapMu, ampuni dosanya dan masukkanlah ia kedalam surgaMu, tempatkan ia di tempat mulia ya Raab. Ya Quddus, sampai saat ini aku belum tahu kabar dari ibuku, jika memang ia telah menyusul Ayahku tempatkan pula ia di surgaMu jadikalah ia bidadari penghuni surgaMu, namun bila Engkau masih mengizinkannya untuk menghirup nafas di dunia, tolong ya Raab selamatkan dia, sehatkan dia, perkenankan diriku untuk dapat bertatap muka dengannya, hamba ingin bertemu ya Allah, hamba ingin berbakti”
Titik-titik air mengalir lembut di pipiku kemudian menetes di atas hamparan sajadah hijau yang tengah membentang di hadapanku.
Angin masish terus mengusik kesunyian malam dengan hembusannya, hingga bunyi decit pintu mengalahkan suara semilir angin itu. Langkah kaki terdengar pelan melangkah setelah pintu terbuka. Jantungku berdegub kencang,  fikiranku dipenuhi kekhawatiran namun aku tetap mencoba berfikir positif. Sayang, gelapnya malam yang hanya diterangi rembulan membuat sosok itu hanya tampak bagai bayangan. Entah siapa yang malam-malam begini mendatangi tempat pengungsian, apakah ia salah satu korban yang mencari bantuan ataukah orang yang punya niat jahat?. Entahlah, aku tidak akan tahu jika aku tidak bertanya, namun belum sempat aku menanyakan siapa sosok itu, dia mengucapkan salam
“Assalamu’alaikum” dengan nada pelan dan sedikit lirih
“Wa..wa’alaikumsalam, si..siapa disana? ”
 “Saya korban gempa, boleh saya masuk? Uhuuk..uhuk”
“I..iiya, silahkan masuk bu”
 Sesosok wanita itupun masuk perlahan lahan dia menjaga langkah kakinya agar tidak menginjak orang-orang yang sedang berbaring di sepanjang lantai dengan alas karpet seadanya. Sosok itu melangkah dan terus melangkah mendekati diriku, hingga cahaya rembulan menampakkah wajah wanita itu dengan jelas, membuat mataku terbelalak, air mataku menetes, lidahku terasa kelu dan kaku, ingin aku berucap banyak namun aku hanya mampu meluapkan segala rasaku dengan berucap
“i..ibu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar