Cucuran
butiran keringat mulai menjalari sekujur tubuhku dalam setiap gayuhan sepedaku.
Jalan setapak yang sempit dan berbatu tidak membuat laju sepedaku melambat, aku
terus mengayuh & mengayuh
hingga terlihat bagai orang kesetanan, bagaimana tidak, jalanan setapak itu
habis kugilas dengan roda sepedaku, maklum jalan itu hampir tiap hari ku lalui,
sehingga tiap pijakan, tiap bebatuan, dan tiap tikungan telah tertanam kuat
dalam benakku.
Aku
mengayuh dan terus mengayuh hingga genangan becek di depanku memaksaku agar menghentikan laju sepedaku
yang kecepatannya sudah tak terhitung oleh speedmeter, “Srroot” terlambat,
sebelum aku menarik rem , sepedaku telah melintasi becek itu hingga percikannya
kini menempel pada rok dan sepatu sekolahku. “huuh” gerutuku dalam hati ,
sambil menghentikan sepedaku dan menyapu-nyapu kecil percikan yang tertempel
pada rokku, stelah itu ku lihat jam yang melingkar
pada pergelangan tanganku
‘Oh No’ kataku sambil menepuk dahi
jarum pada jamku
kini menunjukkan pukul 07.14, itu berarti semenit lagi pagar sekolahku akan
tertutup
Tak ayal jalan setapak kembali ku gilas dengan menggila. Akhirnya
sekolahkupun kian terliahat, lega rasanya setalah bergelut dengan jalan setapak
yang bagai tak berujung akhirnya sampailah aku pada tempat tujuanku, tetapi oh
tidak pagar sekolahku mulai
menutup dan kian waktu kian hanya menyisakan
celah kecil untukku, tak kusia-siakan celah sekecil apapun untuk kujejali
dengan sepedaku. Ku gayuh sepedaku dengan kecepatan super maximum ,ku gayuh dan
terus ku gayuh, lagi-lagi cucuran keringat menemani setiap gayuhanku, kian
kugayuh celah itu kian kugapai tetapi celah itupun kian menutup disaat aku
hampir menbusnya, karena tak mau kalah ku tambah kecepatanku dari super maximum
menjadi very super maximum, sehingga akhirnya celah
itupun dapat kutaklukkan. Karena saking
cepatnya, sepedaku tak dapat kukendalikan aku mencoba menarik remnya, namun
sialnya rem sepaduku blong maklum rem blong adalah penyakit menahun yang
diderita sepada rongsokanku, akhirnya
aku memasuki halaman sekolahku dengan sepeda yang seolah kesetanan,kini di
depanku pohon beringin tua menunggu untuk ditabrak dengan pasrahnya, menyadari
bahaya itu cepat-cepat kubanting stir sepedaku kea rah kanan
“huh hampir saja” kataku sambil berbalik kerah pohon
yang kini berada dibelakangku. Tiba-tiba, “BRRUUUK “
‘Ooouuuchh’ tabrakan itu membuat kepalaku pusing. Aku
mencoba melihat apa yang sebenarnya ku tabrak tadi, dan dalam pandangan mata
yang agak kabur aku dapat melihat sesosok pria bertampang garang, berkumis
tebal dan berkulit hitam namun itu hanya berupa bayangan belum jelas sosok yang
sebenarnya, apakh ia seorang perampok?hmm sepertinya bukan, atau seorang
pencuri? Kelihatannya kurang tepat, mungkin seorang perompak? Aku mengada-ngada
saja, mana ada perompak di darat adanyakan di laut,atau jangan ia adalah monster?hampir tepat sih
karena tampangnya rada mirip hehehe, sayangnya tak ada monster di dunia ini.
Kuputuskan untuk mengucek mataku agar sosok itu makin jelas terlihat, ku
‘search’ wajah orang-orang yang kukenal dan ‘aha’ I’ve got it,,, BUT..oh god! Please jangan sampai dia.
Karena tak percaya sosok itu adalah dia, aku kembali mengucek mataku, sosok itu
kian jelas
terlihat dan itu benar-benar
dia,kutelan air liurku yang nyangkut ditenggorokanku, tiba-tiba hawa pagi ini
kian mendung serasa petir sesekali menyambar disekitarku, burung-burung yang
sedari tadi riang melantunkan nyanyian kini menjadi bungkam tak bersuara
(mungkin kesellek? Hehe)
Keringat yang sedari tadi bercucuran, kini kembali
bercucuran membasahi setiap celah pori-pori tubuhku. Bagaimana tidak, setelah
mensearch, menelaah dan menimbang, akhirnya aku tahu, sosok yang saat ini
mengerutkan dahinya karena kesakitan adalah pak Sukiman, dia adalah satpam disekolahku,
orang dengan tampang yang kriminil, dengan suaranya yang garang dan sedikit
parau menambah perawakan menyeramkan (gak salahkan kalau aku bilang beda tipis
dengan monster hahaha…). Tiba-tiba sosok yang sedari tadi terkapar di atas
tanah kini mencoba untuk berdiri. Dag dig dug jantungku berdegub tak karuan
tanpa nada yang terarah, aku berfikir keras agar bisa lolos dari terkaman
mautnya. Oh god! Aku buntu.
“Mati aku” bisikku menepuk dahiku, sosok itu persis di depanku, matanya
kian melotot dan wajahnya memerah. Ia benar-benar marah seolah siap melahapku dalam terkamannya
“Elviiii, elvii kamu itu sudah bapak peringatkan
berkali kali jangan terlambat ke sekolah, masih saja kamu langgar…”
“tapi kan aku tidak terlambat pak hanya saja hampir
terlambat” kataku memotong pembicaraan Pak Sakiman
“Lha, gara-gara kamu hampir terlambat makanya kamu tadi
naik sepeda kayak orang kesetanankan? Kamu ini sudah salah terlambat, nabrak lagi”
kata Pak Sakiman
dengan geram dan mata yang melotot kembali menjurus kearahku tatapan
matanya menandakan rasa malu dan marahnya yang melebur dalam emosinya,
bagaimana tidak, karena tragedy tabrakan tadi Pak Sakiman dan aku seolah jadi
pemeran utama dalam sandiwara sekolah ini karena kami berhasil menyedot
perhatian seisi sekolah maklum kejadian tadi perdana terjadi di sekolah.
Bukannya mengelak dan menyerah aku malah membalas kata-kata Pak Sakiman
“Coba pagar tadi gak usah ditutup pak, pasti saya
santai saja masuk sekolah makanya sekolah ini lebih bagus lagi kalau peraturan
tutup pagar jam 07.15 direvisi kembali”
perkataan ku itu sontak mendapat sambutan hangat dan
tepukan meriah dari siswa-siswi yang sedari tadi menyaksikan aku dan Pak
Sakiman, namun perkataanku membawa petaka bagiku karena Pak Sakiman makin
memuncak emosinya
“kamu ini, alsan saja, coba kamu lebih cepat datang
dari rumahmu pasti kamu tidak akan terlambat, banyak juga siswa-siswi sekolah
ini yang datang tepat waktu” Kata pak Sakiman dengan senyuman kemenangannya,
perkataannya itu merupakan tamparan untukku karena aku telah di skak mat
olehnya
“Nah sekarang kamu tahukan harus kemana?” Katanya
lagi-lagi dengan senyuman bangga yang menghujam hatiku
“iya pak” Jawabku dengan singkat dan lesu
Akhirnya kulangkahkan kakiku ke pintu masa depan
kelamku, pintu WC sekolah. Hanya beberapa meter dari pintu WC itu, baunya sudah
menyengat tercium
“hhoouuek” ucapku sambil mengipas-ngipaskan tangan di
depan hindugnku
Aku terus berjalan hingga aku sampai di depan pintu WC
itu, kemudian membuka pintu itu dan mulai membersihkannya, huuh lelahnya.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang kelas tempatku
mencoba mengais seberkas ilmu di dalamnya, mengukirkan kisah cerita bersama
teman-temanku dan menorehkan lembaran-lembaran memori yang tak akan terlupakan.
***
Tiiinnnnnnngggggg….tiiiiiiiiiiiiinnnnggg…..tiiiiiiiiiiiiiinnnng………….
Suara bel menggema mengawali sorakan hiruk pikuk
siswa-siswi SMA di sekolahku, aku dan 3 sahabatku Cica, Ega dan Fadila berjalan
ke tempat parkir mengambil sepeda-sepeda
kami untuk mengendarainya pulang ke rumah.
Tak seperti caraku mengendarai sepedaku pagi tadi,
kali ini aku menikmati tiap gayuhan sepedaku merasakan debu-debu siang yang
beterbangan di sekelilingku meskipun terik matahari siang ini menyengat hingga
tiap pori-pori tubuhku namun aku tetap menikmati perjalananku,menikmati bau
pedesaan yang khas, menikmati keramahan dan senyuman orang-orang sekampungku
yang ku temui, dan tentunya menikmati indahnya panorama pedesaan yang sulit
ditemukan oleh orang-orang kota.
Aku tinggal di desa saumangannya, kecematan pagai
utara yang terdapat di pulau Mentawai provinsi Sumatera barat. Pulau dengan
citra eksotika yang tinggi. Mataku seolah dimanjakan oleh hamparan hijau
berhektar-hektar sawah, tiap helai padi yang tertiup angin melambai-lambai
bagai ombak dilautan, awan-awan tak kalah ramahnya seolah menampakkan senyum
cerianya, tak berapa jauh dari sawah terdapat genangan sungai yang siang ini
dipenuhi oleh teriakan ceria anak-anak yang menceburkan dirinya di dalamnya
mencoba menyegarkan badan di cuaca terik ini. Melihat kami melintasi sungai itu
anak-anak itu tak tinggal diam, mereka dengan bandelnya menyirami kami dengan
percikan-percikan air sungai, kami hanya tertawa akan ulah iseng mereka begitupun
dengan mereka tertawa lepas bahagia. Pohon-pohon rindang dipinggir jalan membendung
cahaya terik matahari ketika kami berada di bawah naungannya, pohon-pohon
dengan batang besar dan kokoh itu turut menorehkan keindaha mentawai. Sungguh
itu semua adalah Maha karya Allah SWT yang tak tertandingi nilai makna dan
eksotika keindahannya. Perjalanan pulangku tak hanya dipenuni keindahan alam
namun juga diselingi gelak tawa kami.
“Assalamualaikum” ucapku
“Waalaikumsalam”sahut kedua orang tuaku yang sedang
berada di teras rumah, mereka manyambutku dengan seulas senyuman penuh makna
dan tatapan kebahagiaan yang terpancar meski tanpa kata-kata.Aku seolah ingin
agar waktu ini tak berjalan, berhenti pada detik ini menikmati senyuman kedua
orang yang sangt kusayangi selamanya.
***
Pagi yang tenang seperti biasa, hari ini hari minggu,
sehingga aku tak perlu terburu-buru mengayuh spedaku ataupun bergulat dengan
pak Sakiman. Waktu dipagi yang cerah ini akan kuhabiskan untuk
melaksanakan tugasku menyiram bunga
dihalaman rumahku.
Tiba-tiba tanah bergoyang dan berguncang semakin
berguncang lebih keras, kepanikanpun semakin terlihat akan teriakan histeris
sebagian warga, sebagian warga juga berlarian tak karuan, binatng-binatang
ternak juga turut panik menghadapi guncangan dahsyat ini. Aku tak tahu harus
berbuat apa dikala aku digelayuti kepanikan darah diotakku seolah membeku
membuat fikiranku buntu, tak sadar akupun lari tak karuan tak punya arah
tujuan, guncangan yang semakin dahsyat membuat beberapa pohon kini tumbang, aku
hanya dapat berlari dan terus berlari menghindari tumbangan pohon yang bisa
jadi mengenaiku, dikala aku berlari guncangan susulan datang kembali kali ini
lebih dahsyat lagi dari sebelumnya sehingga langkahku terhenti keringat dingin
membasahi sekujur tubuhku, aku kini hanya bisa jongkok ditempatku yang berada
tepat di depan mesjid,sementara itu bangun yang tak jauh dari tempatku jongkok
sedikit demi sedikit rubuh akibat guncangan tadi, tak pelak teriakan yang
sedari tadi bergema kini kian menggema memenuhi langit pagi ini, aku hanya bisa
terbelalak melihat kehancuran demi kehancuran mendera desaku, tak sadar sebuah
pohon di dekatku mengeluarkan bunyi retak-retak dan ternyata akan tumbang
mengenai diriku, jantungku berdegub sangat cepat seolah jantungku akan keluar
dari tubuhku,dalam kondisi terpojok aku hanya bisa berkata dalam hati “Ya
Allah, lindungilah aku”, tiba-tiba seorang warga menarik lenganku dan berlari
membawaku masuk ke dalam mesjid untuk berlindung kami berlindung di bawah meja
kecil yang ada di dalam mesjid. Tak beberapa lama kemudian guncangan itu
akhirnya berhenti juga. Mataku hanya dapat terbelalak, otak ku belum stabil
sepenuhnya, buliran keringat dingin yang bercucuran membasahi bajuku, perasanku
saat ini campur aduk aku takut, gelisah, dan sedih, tak terasa tetsan air dari
mataku meluncur membasahi pipi mungilku, rasanya anak seusiaku belum sanggup
menerima beban seberat ini, kepalaku tersa pusing dan fisikku kian melemah
akhirnya aku memilih baring untuk beristirahat sejenak.
***
Dua hari telah berlalu semenjak peristiwa itu, kini
aku dan beberapa orang warga tinggal di mesjid dan makan seadanya. Aku senang 3
sahabatku selamat dari bencana ini, namun hal yang paling mengganggu fikiranku
adalah tentang keberadaan orang tuaku yang tak tahu entah berada dimana
sekarang ini. Setiap aku memikirkan mereka buliran air dari mataku selalu hadir
membasahi pipiku
“Elvi kesini sebentar” kata pak karim salah seorang
warga
“Ada apa pak?”tanyaku
“Ikut saya sebentar”katanya
Aku mengikuti langkah kaki pak Karim, yang aku lihat
dari sikapnya pak karim seolah sedang menyembunyikan sesuatu sehingga aku
bertanya
“Ada apa pak?dan kita mau kemana?”
Dia tidak menjawab dan tak berani melihat wajahku, ia
hanya terus melangkah dan aku tetap mengikutinya. Hingga dia berhenti di sebuah
puing-puing rumah
“Buka itu”katanya sambil menunjuk sebuah benda yang
tertutupi kain
Aku melangkah kemudian membuka kain yang menutupi
benda itu.
“Astaga” kataku
Aku mundur beberapa centimeter sambil
menggeleng-gelengkan kepalaku, hati teriris oleh serpihan memori manis,dadaku
sesak dipenuhi kenangan masa lalu, tetesan air dari mataku kini membanjiri
pipiku
“Aaaaaaaaaaa”
Aku berteriak bagai orang kesetanan menangis
meraung-raung
“Ayaaaahh”
Aku berteriak memanggil mayat yang kini terkapar di
depanku. Aku berfikir Tuhan sungguh tidak adil mengambil kebahagiaan dalam
hidupku, mengambil sesuatu yang berharga dalam hidupku,apa sebenarnya salahku?
***
3 hari telah berlalu sejak pemakaman ayahku, aku dan
beberapa warga masih tetap saja tinggal di mesjid dan bergantung pada makanan
yang kami terima dari donatur, namun sayang persediaan makanan kian menipis
kami tak tahu harus makan apa 3 hari ke depan. Tiba-tiba kami mendengar kabar
bahwa ada seorang donatur bule yang ingin membagikan sembako kepada kami,
sehingga kamipun berbondong-bondong mendatangi donatur tersebut, namun ada yang
tak biasa dengan donatur yang satu ini, ia tak langsung membagikan makanan
kepada kami, melainkan ia naik diatas sebuah balok kayu yang agak besar. Ternyata
ia membacakan kami bibel dan mencoba mendoktrin kami agar masuk ke dalam ajarannya
tak hanya itu ia memberikan kitab injil,brosur dan komik, barulah kemudian ia
akan memberikan kami sembako, pilihan yang dilematis memang antara kebutuhan
perut dan keyakinan beragama. Aku tahu aku dan warga sekitar sangat membutuhkan
makanan untuk persediaan mendatang namun bukan berarti kami begitu saja
menggadaikan Aqidah kami dengan begitu saja membenarkan sikap donatur yang satu
ini.
Akhirnya aku memutuskan bahwa Aqidahku tidak seharga
dengan bungkus mie instan, aku tetap mempertahankannya meskipun banyak juga
warga yang terperdaya akan bujukan donatur bule tersebut. Meskipun aku bukanlah
orang yang agamis namun aku percaya bahwa ketika kita melakukan suatu kebaikan
maka Allah akan memberikan kita kemudahan dalam menjalaninya.
***
Yang bisa kulakukan untuk saat ini hanyalah memanjatkan
doa agar kiranya Allah menurunkan rezkinya kepada kami hamba-hambanya yang
tetap istiqomah menempuh jalan-Nya, persediaan kini hanya cukup untuk besok
saja, entah apa yang akan kami makan 2 hari ke depan. Kutengadahkan wajahku ke
langit sembari berzikir megingatNya, kulangkahkan kakiku menyusuri jalan
setapak desaku, ku berhenti di bawah pohon tua yang masih utuh dan tercengang
melihat berhektar-hektar sawah yang dulu terhampar hijau beraturan kini berubah
menjadi hamparan tanaman-tanam liar yang tumbuh diantara retakan-retakan tanah.
Aku duduk dibawah naungan rindang pohon itu mengingat kembali simpul-simpul
kenangan yang terbentuk sbelum bencana ini datang, mengingat kembali
uraian-iraian cerita,mengingat kembali rajutan cinta kasih yang diberikan untuk
menghangatkan hari-hariku. Buliran-buliran air mata untuk kesekalian kalinya
membasahi pori-pori pada pipi kusamku.
Aku tak sanggup menahannya ketika memoar masa lalu menunjukkan sosok lembut
yang sangat ku sayangi ayah ibuku, ayahku yang telah pergi kini berada di alam
lain sementara ibuku tak bisa kuterawang apakah ia masih ada atau telah bersama
ayah meninggalkanku, ya Allah ya Rab.
Alhamdulillah doa-doa kami akhirnya dijabah disaat
persediaan kian kritis datanglah beberapa orang donatur dari jawa yang
memberikan kami makanan,minuman,obat-obatan, pakaian,dan mainan untuk
anak-anak. Tak hanya itu para donatur itu memberikan kami siraman rohani yang
membuat ruh-ruh kami yang sakit kian membaik keadaannya, dan juga para donatur
itu memberikan games kepada anak-anak yang terkena bencana sehingga setelah
sekian lama tawa mereka terkunci oleh kemuraman akhirnya terbuka dengan keceriaan dan kegembiraan. Aku terharu
melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata bening mereka.
***
Aku termenung mengingat, menelaah dan mengkaji kembali
kata-kata dari mbak Mega yakni donatur yang kemarin baru saja memberikan siraman rohani kepadaku
dan beberapa orang warga
“Dalam Al-qur’an surah Ar-rum Allah SWt mnejelaskan
bahwa kerusakan di muka bumi ini adalah akibat dari ulah tangan manusia itu
sendiri, nah kita sebagai manusia jangan langsung mentang-mentang menjudge Allah SWT bahwa Allahlah yang bersalah
atas hal ini, manusianya yang tidak taat kepada Allah, manusia bersikap sombong
dan manusia bersikap musyrik sehingga Allah menurunkan bencananya, apalagi
hukum-hukum Allah hari ini tidak diterapkan secara kaffah, padahal dalam
Al-qur’an hukum sholat sama wajibnya dengan hukum rajam bagi para pezina, tapi
hari ini hukum Allah hanya diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian,lantas
bagaiman Allah tidak murka?. Dan lagi kita sebagai manusia kadang kala tidak
mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kita, saya tahu kita yang berada
disini pastinya merasa kurang beruntung karena bencana yang mendera, tapi coba
kita renungkan bagaiman kiranya keadaan saudara saudari kita di palestina sana?
Mereka memang tidak dikenai bencana alam, namun mereka di sana sedang bertarung
nyawa, melihat ibu,bapak anak-anak mereka dibantai di depan mereka, melihat
istri mereka diperkosa di depan mereka, masihkah kita merasa kita orang yang
paling menderita?, sementara dibelahan dunia sana masih banyak saudara-saudari
kita yang lebih menderita dari pada kita, mereka kelaparan, kekurangan dan
gelisah.”
Perkataannya itu membuat hatiku merasa sedikit tenang,
aku merasa sedikit lebih beruntung dari pada mereka-meraka di belahan bumi
sana.
“Maafkan aku ya Rab” Bisikku
Aku menyalahkan Allah SWT atas segala ini tanpa
melihat kesalahan dan kekacauan yang aku perbuat, aku sungguh tak tahu
bersyukur padahal rezki Allah telah diberikan sangat banyak untukku. Air yang
sedari tadi ditahan kelopak mataku kini tumpah ruah tak terbendung.
Aku juga ingat kata-kata mbak mega yang menggugah
hatiku ini
“Dalam Qur’an surah Al-insyirah Allah memberikan kabar
bahwa sesungguhnya sesudah kesedihan ada kegembiraan. Hidup ini bagai roda yang
terus berputar ketika kesedihan menerpa yakinlah bahwa secercah harapan
kebahagian itu akan kembali menari-nari di atas kita, ketika kesulitan datang
menghadang, yakinlah kemudahan itu akan hadir menghangcurkan tembok kesulitan
yang menghadang itu, saya ingat kata Dr. Aidh Al-qarni ‘kasih sayang Allah
pasti datangnya meski ia terasa nun jauh di sana, ia akan tiba laksana kerdipan
mata bila sudah saatnya”
Kata-kata mbak Mega itu mengembalikan semangatku untuk
tetap melanjutkan hidup ini dengan penuh kesyukuran.
***
Dalam keheningan dan dinginnya malam, kutengadahkan
kedua tanganku keatas setalah aku bersimpuh dalam tahajjud.
“Ya Allah, ya Raab, hambamu yang dhoif ini memohon
ampun atas segala dosa dan salah yang hamba perbuat. Ya Allah,ya Rahman sungguh
hati ini penuh titik-titik hitam akibat kemaksiatan yang selama ini hamba
perbuat, sungguh buku catatan amal hamba dipenuhi oleh catatan amal buruk. Ya
Allah, selama ini aku mempertontonkan auratku tanpa merasa bersalah, selama ini
aku juga telah banyak menceritakan aib saudara hamba, selama ini hamba hanya
sibuk memikirkan diri hamba tanpa pernah memikirkan nasib saudara hamba di
belahan bumu lain, selama ini pula hamba malas untuk mengkaji agama Islam, ya
Raab sungguh telah banyak kelalaian yang hamba lakukan,padahal Engkau telah
memberiku kesempatan. Ya Rahman dengan kasihMu Engkau masih memberikan hidup
padaku, Engkau masih memberikan Rezki kepadaku dan Engkau masih memberi
kesehatan kepadaku, betapa aku tidak bersyukur atas segala nikmat yang Engkau
berikan, maafkan aku ya Allah atas murkaku terhadap IradahMu, padahal bencana
ini Engkau timpakan sebagai teguran atas dosa-dosa kami. Ya Allah kuatkan hamba
atas segala ujian yang Engkau timpakan, kukuhkan hamba terhadap jalan kebenaran
dan jangan biarkan hamba tergoda tas bujuk rayu setan. Ya Malik, ampuni pula
segala kesalahan dan dosa kedua orang tua hamba, sayngilah mereka sebagaimana
mereka menyayangiku diwaktu kecil. Ya Salam Engkau telah memanggil Ayahku
menghadapMu, ampuni dosanya dan masukkanlah ia kedalam surgaMu, tempatkan ia di
tempat mulia ya Raab. Ya Quddus, sampai saat ini aku belum tahu kabar dari
ibuku, jika memang ia telah menyusul Ayahku tempatkan pula ia di surgaMu
jadikalah ia bidadari penghuni surgaMu, namun bila Engkau masih mengizinkannya
untuk menghirup nafas di dunia, tolong ya Raab selamatkan dia, sehatkan dia,
perkenankan diriku untuk dapat bertatap muka dengannya, hamba ingin bertemu ya
Allah, hamba ingin berbakti”
Titik-titik air mengalir lembut di pipiku kemudian
menetes di atas hamparan sajadah hijau yang tengah membentang di hadapanku.
Angin masish terus mengusik kesunyian malam dengan
hembusannya, hingga bunyi decit pintu mengalahkan suara semilir angin itu.
Langkah kaki terdengar pelan melangkah setelah pintu terbuka. Jantungku
berdegub kencang, fikiranku dipenuhi
kekhawatiran namun aku tetap mencoba berfikir positif. Sayang, gelapnya malam
yang hanya diterangi rembulan membuat sosok itu hanya tampak bagai bayangan.
Entah siapa yang malam-malam begini mendatangi tempat pengungsian, apakah ia
salah satu korban yang mencari bantuan ataukah orang yang punya niat jahat?.
Entahlah, aku tidak akan tahu jika aku tidak bertanya, namun belum sempat aku
menanyakan siapa sosok itu, dia mengucapkan salam
“Assalamu’alaikum” dengan nada pelan dan sedikit lirih
“Wa..wa’alaikumsalam, si..siapa disana? ”
“Saya korban
gempa, boleh saya masuk? Uhuuk..uhuk”
“I..iiya, silahkan masuk bu”
Sesosok wanita
itupun masuk perlahan lahan dia menjaga langkah kakinya agar tidak menginjak
orang-orang yang sedang berbaring di sepanjang lantai dengan alas karpet
seadanya. Sosok itu melangkah dan terus melangkah mendekati diriku, hingga
cahaya rembulan menampakkah wajah wanita itu dengan jelas, membuat mataku
terbelalak, air mataku menetes, lidahku terasa kelu dan kaku, ingin aku berucap
banyak namun aku hanya mampu meluapkan segala rasaku dengan berucap
“i..ibu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar